Orang-orang ramai berbelanja pakaian baru, sepatu baru, barang elektronik baru, sampai motor dan mobil baru.
Orang-orang pun
ramai memasak hidangan khas Lebaran. Ketupat, opor, rendang, sambal goreng ati,
nastar, kastengel, dan berbagai jenis makanan lainnya.
Jutaan orang
rela bermacet-macet, menempuh perjalanan jauh untuk pulang. Mudik Lebaran.
Tak sabar berkumpul
dengan keluarga besar di kampung halaman. Semua orang bersukacita, bergembira.
Semua orang?
Ternyata tidak.
Ada yang tak suka dan bahkan merasa tersiksa dengan tradisi ini.
Apa Sebabnya?
Jangan secepat
kilat menghakimi mereka sebagai “orang Islam kok nggak seneng sama hari
besarnya sendiri”. Oh, jangan secepat itu, Rudolfo.
Bukankah kata
pepatah, tak ada asap jika tak ada api?
Pasti ada sebab
di balik segala sesuatu. Lihat dulu apa penyebab mereka tak suka libur Lebaran.
4 Sebab Orang Tak Suka Libur Lebaran
apasebab.com mengumpulkan empat penyebab yang
membuat seseorang tidak suka berkumpul dengan keluarga besar saat libur Lebaran.
Yuk disimak.
1. Anak Emas
Mengasuh anak tanpa pilih kasih. |
Penyebab yang
satu ini bermula dari pengasuhan sekian puluh tahun sebelumnya. Ketika
orang-orang yang sekarang mudik itu masih kanak-kanak.
Para pakar
parenting melarang orangtua membeda-bedakan kasih sayang kepada anak-anak
mereka.
Kasih sayang
kepada anak pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya (jika punya banyak anak),
haruslah sama besar. Semua sama disayang, semua sama dicintai.
Tidak boleh ada
yang dianakemaskan. Tidak boleh ada yang diabaikan dan dianakloyangkan.
Kenyataannya,
tak sedikit orangtua yang pilih kasih. Lebih sayang pada si kakak daripada si
adik. Lebih mendahulukan kepentingan dan kebahagiaan si A daripada si B.
Apa yang
dilakukan anak emas selalu benar. Apa yang dilakukan si anak loyang selalu
dinilai salah.
Repotnya,
kebiasaan menganakemaskan itu terbawa terus sampai anak-anak dewasa. Anak emas
tetap anak emas, apa pun kondisinya. Dan anak loyang, tetaplah anak loyang.
Anak loyang
menyimpan luka masa kecilnya. Tiap kali ingin menyembuhkan luka, saat mudik
Lebaran dia kembali diperlakukan seperti dulu.
Semua-semua
berfokus pada kebahagiaan si anak emas, serta anak-anak si anak emas. Sedangkan anak loyang … ah sudahlah. Tak
penting dia ada atau tidak ada.
Jadi, untuk apa
mudik Lebaran? Untuk apa berkumpul dengan keluarga besar di hari Lebaran?
2. Pameran Kesuksesan
Dunia milik mereka yang sukses dan berharta. |
Dunia adalah milik orang-orang sukses dan berharta. Bukan milik orang yang gagal dan kere.
Jika engkau
punya banyak harta dan jabatan, orang-orang akan senang berada di dekatmu.
Memuja-muji. Mengambil hati. Ingin dianggap teman dekat.
Cobalah jika engkau
gagal dan tak punya harta. Berapa banyak yang tulus berada di dekatmu? Berapa
banyak yang mau tulus berteman dan mendukungmu? Berapa banyak yang masih ingat
bahwa dirimu ada?
Orangtua dan
handai tolan tak akan habis-habisnya menyanjung si sukses. Memuji-mujinya.
Menatap kagum. Berulang-ulang menceritakan keberhasilan si sukses pada semua
orang.
Dia sudah jadi
pengusaha sukses. Dia sudah jadi pejabat. Rumahnya mewah. Rumahnya ada lima,
rupa-rupa warnanya. Anaknya ulang tahun diberi hadiah mobil 500 juta. Dan
seterusnya, dan seterusnya.
Pertanyaan “kerja di mana?” akan dijawabnya dengan gagah. Mobil , merek jam tangan, dan sebagainya memberi gambaran berapa besar penghasilannya.
Berbeda bagi
yang berada di posisi sebaliknya. Pekerjaan masih serabutan, penghasilan
pas-pasan untuk makan saja. Rekening tabungan ada tetapi lebih sering di saldo
minimal. Rumah dan kendaraan pribadi masih dalam impian.
Bisa ditebak
kelanjutannya. Si sukses akan duduk di ruang depan untuk dipamerkan. Untuk
mengulang-ulang cerita kesuksesannya di rantau.
Si-tak-kunjung-sukses
… sudahlah, diam saja di pojokan.
3. Si Kepo Tak Berakhlak
Manusia kepo perusak suasana Lebaran ini ada di mana-mana. Sialnya, termasuk di dalam keluarga besar sendiri. Bisa berwujud kakak, ipar, sepupu, pake, bude, atau yang lainnya.
Kapan nikah? Memangnya kamu nyari jodoh yang gimana sih?
Kenapa tidak menikah? Kamu terlalu pilih-pilih jodoh sih, jadi nggak nikah-nikah.
Kok belum punya
anak? Kamu mandul ya? Udah lama kan nikahnya?
Kapan nih si
kakak dikasih adik? Kasihan main sendirian aja.
Tiga anak
perempuan semua ya? Coba lagi, dong, siapa tahu dapat anak laki-laki.
Kamu kenapa
cerai? Jangan-jangan kamu yaaa yang selingkuh?
Kamu kok makin
gendut aja? Itu badan apa balon?
Kamu kok makin
kurus? Malu-maluin keluarga aja, kayak nggak pernah dikasih makan.
Lucunya,
orang-orang seperti itu akan enteng mengatakan, “Baperan amat!” ketika yang
dikepoin tersinggung.
Mendingan
baperan daripada punya mulut nggak berakhlak.
4. ART gratisan
Menjadi pembantu gratisan saat kumpul keluarga. |
Libur Lebaran
yang seharusnya menyenangkan jadi terasa menyakitkan bagi orang-orang ini.
Boro-boro bisa berlibur. Mudik dan berkumpul dengan keluarga besar membuatnya
harus menjadi ART (asisten rumah tangga) gratisan.
Si adik yang belum
menikah dan belum kaya raya sering diperlakukan sebagai pembantu. Tentu saja,
tanpa dibayar.
Sejak bangun
tidur sampai tidur lagi harus sendirian mengurus keluarga besar. Dari
membersihkan rumah, memasak, mencuci piring dan baju, sampai mengasuh para
keponakan.
Para kakak,
abang, ipar tak mau membantu. Malah mengolok-olok dengan kalimat-kalimat
menyakitkan.
Adegan sinetron
kumenangiiiis di saluran ikan terbang memang ada dalam kehidupan nyata. Mungkin
azabnya saja yang belum.
Tak mengalami sendiri bukan berarti tak ada yang mengalami. Bersyukurlah jika libur Lebaranmu selalu indah. Tapi tak semua orang seberuntung dirimu.
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu, ya. Terima kasih.